Sejarah Peradaban Islam TURKI USMANI
(1288-1923 M / 1299–1923 M)
A. Latar Belakang
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz / Ughuj yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Pada Abad ke-13 M, saat Chengis Khan mengusir orang-orang Turki dari Khurasan dan sekitarnya. Kakenya Usman, yang bernama Sulaiman bersama pengikutnya bermukim di Asia kecil. Dari perjalanan tersebut Sulaiman, ia tenggelam ketika menyemberangi sungai Efrat (dekat Allepo). Sulaiman mempunyai empat saudara yang bernama, Shunkur, Gundogdur, al-Thugril, dan Dundar. Dua puteranya kembali ke tanah air mereka. Sementara yang kedua terakhir bermukim di Asia kecil. Di sana mereka di bawah pimpinan Sultan Alauddin di Kunia. Saat Mongol menyerang sultan Alauddin di Anggara (kini Angkara), al-Thugril membantu mengusir Mongol, sehingga berkat jasanya itu, Alauddin memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Al-Thugril, mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama bernama Usman pad 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288 M. dan ia mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak itulah berdiri Dinasti Turki Usman.
B. Silsilah Keturunan / Kekuasaan
Sultan Alauddin meninggal pada 1300 M / 699 H, maka Usman mengumumkan diri sebagai Sultan yang berdaulat penuh. Namun tidak langung diakui oleh banyak orang. Pada masa Usman hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, ia meninggal pada 1326 M. kemudian puteranya naik tahta yang bernama Orkhan (Urkhun) pada usia 42 tahun. Pada masanya ia membentuk tiga pasukan utama, tentara Siphai (tentara reguler), tentara Hazeb (tentara ireguler), tentara Jenisari (pasukan direkrut pada usia dua belas tahun).
Selanjutnya kekuasaan beralih kepada puteranya Murad I, yang telah berhasil menaklukan, Adrianopol, Masedonia, Bulgaria, Serbia, Kosovo dan Asia kecil. Murad I bergelar Alexander abad pertengahan. Murad digantikan oleh puteranya Bayazid I, yang bergelar Ildrim (kilat), terjadi pertempuran dengan tentara Mongol yang dipimpin oleh Timur Lenk, sehingga Bayazid I bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Pada masa ini Turki Usmani mulai mengalami kemunduran. Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad, ia berhasil memulihkan kondisi menjadi stabil sehingga para sejarawan mensejajarkan dia dengan Umar II dari Dinasti Umayyah.
Setelah ia meninggal digantikan oleh Murad II (1421-1451 M),, ia mengembalikan cintra Murad I, yaitu dengan merebut kembali daerah-daerah Eropa (Kosovo). Ia banyak mendirikan Masjid dan Sekolah. Penggatinya adalah Muhammad II (1451-1484M), dengan gelar Al-Fatih, ia telah berhasila menaklukkan kota Konstantinopel pada 25 Mei 1453. Dan juga ia menaklukkan Venish, Italy, Rhodos, dan Cremia yang terkenal denan Konstantinopel II. ia menerapkan UU islam dalam qanun namah. Setelaha abad ke-16 M atauran ini dilonggarkan. Al-fatih meninggal, digantikan anaknya Bayazid II, kemudian digantikan oleh anaknya Salim I, ia sangat kejam, dalam sejarah Eropa dikenal sebagai Salim the Grim. Ia menaklukkan Asia Kecil, Persia, Kaldiran, dan Mesir. Dan juga berhasil menaklukkan Sultan Mamluk (1517 M). ia memindahkan Khalifah boneka Bani Abbas ke Konstantinopel yang bernama Ahmad dan mengambil gelar secara sakral yang kemudian digunakan oleh sultan Turki, Salim I, sehingga kota tersebut berubah menjadi Istambul.
Selanjutnya digantikan oleh Sulaiman Agung (1520-1566), mendapat julukan Sulaiman al-Qanuni, pada masanya disusun sebuah kitab undang-undang (qanun), Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur dan berhasil membawa kejayaan islam, dan ia pula berhasil menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Turki. Sulaiman jug berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masanya mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria,Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Sulaiman al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M), Di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Selanjunya digantikan oleh Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, namun Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabnz, ibu kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun kehidupan moral Sultan yangjelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri.
Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar.
Sesudah Sultan Ahmad I ( 1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623 – 1640 M). Pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari’ yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan. Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim I (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) ke kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim.
Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699M terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia.
Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain:
1. Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan LautPutih, dan
2. Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Satu persatu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.
Di Mesir, kelemahan-kelemanan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnyaNapoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.
Di Libanon dan Syria, Fakhral-Din, seorang pemimpin Dntze, berhasil menguasai Palestina, dan pada tahun 1610 M merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa lokal Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M.
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika sedang mengalami kemunduran. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut hingga abad ke-19 dan ke-20 M.
• Osman I (1281-1326; bey)
• Orhan I (1326-1359; bey)
• Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
• Beyazid I (1389-1402)
• Interregnum (1402-1413)
• Mehmed I (1413-1421)
• Murad II (1421-1444) (1445-1451)
• Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
• Beyazid II (1481-1512)
• Selim I (1512-1520)
• Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
• Selim II (1566-1574)
• Murad III (1574-1595)
• Mehmed III (1595-1603)
• Ahmed I (1603-1617)
• Mustafa I (1617-1618)
• Osman II (1618-1622)
• Mustafa I (1622-1623)
• Murad IV (1623-1640)
• Ibrahim I (1640-1648)
• Mehmed IV (1648-1687)
• Suleiman II (1687-1691)
• Ahmed II (1691-1695)
• Mustafa II (1695-1703)
• Ahmed III (1703-1730)
• Mahmud I (1730-1754)
• Osman III (1754-1757)
• Mustafa III (1757-1774)
• Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
• Selim III (1789-1807)
• Mustafa IV (1807-1808)
• Mahmud II (1808-1839)
• Abd-ul-Mejid I (1839-1861)
• Abd-ul-Aziz (1861-1876)
• Murad V (1876)
• Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
• Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
• Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
• Abd-ul-Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)
C. Kemajuan / Kejayaan Masa Turki Usmani
Selama kejayaan dinasti ini ada beberapa yang telah berhasil namun diperiode selanjutnya daerah-daerah yang telah dikuasi kembali direbut oleh pihak yang ingin menguasai Turki Usmani, adapun keberhasilan pada masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Pada masa Sulaiman kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun nmesjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol.
Bangsa Turki juga banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Mesjid Jami’ Sultan Muhammad Al-fatih, Mesjid Agung Sulaiman dan Mesjid Abi Ayyub al-Anshari.Mesjid-mesjidtersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu mesjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah mesjid yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu, dijadikan penutup gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya.
Pada masa Turki Usmani tarekat mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah tarekat Bektasyi dan Tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Di pihak lain, kajian-kajian ilmu keagamaan, Asy’ariyah mendapatkan tempatnya. Selain itu para ulama banyak menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya¬karya masa klasik.
D. Faktor Runtuhnya Turki Usmani
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
1. Intern
• Buruknya pemahaman Islam
Lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTEK dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
• Salah menerapkan Islam.
Dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst).
2. Eksten
• Penjajahan Barat membawa semangat gold, glory, dan gospel
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887). - See more at: http://feryntina.blogspot.com/2013/04/sejarah-peradaban-islam-turki-usmani.html#sthash.YFnNRpef.dpuf
A. Latar Belakang
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari Kabilah Oghuz / Ughuj yang mendiami daerah Mongol dan daerah Utara Negeri Cina. Pada Abad ke-13 M, saat Chengis Khan mengusir orang-orang Turki dari Khurasan dan sekitarnya. Kakenya Usman, yang bernama Sulaiman bersama pengikutnya bermukim di Asia kecil. Dari perjalanan tersebut Sulaiman, ia tenggelam ketika menyemberangi sungai Efrat (dekat Allepo). Sulaiman mempunyai empat saudara yang bernama, Shunkur, Gundogdur, al-Thugril, dan Dundar. Dua puteranya kembali ke tanah air mereka. Sementara yang kedua terakhir bermukim di Asia kecil. Di sana mereka di bawah pimpinan Sultan Alauddin di Kunia. Saat Mongol menyerang sultan Alauddin di Anggara (kini Angkara), al-Thugril membantu mengusir Mongol, sehingga berkat jasanya itu, Alauddin memberikan daerah Iski Shahr dan sekitarnya. Al-Thugril, mendirikan ibukota bernama Sungut, di sana lahir anak pertama bernama Usman pad 1258 M. Al-Thugril meninggal pada 1288 M. dan ia mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan, maka sejak itulah berdiri Dinasti Turki Usman.
B. Silsilah Keturunan / Kekuasaan
Sultan Alauddin meninggal pada 1300 M / 699 H, maka Usman mengumumkan diri sebagai Sultan yang berdaulat penuh. Namun tidak langung diakui oleh banyak orang. Pada masa Usman hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, ia meninggal pada 1326 M. kemudian puteranya naik tahta yang bernama Orkhan (Urkhun) pada usia 42 tahun. Pada masanya ia membentuk tiga pasukan utama, tentara Siphai (tentara reguler), tentara Hazeb (tentara ireguler), tentara Jenisari (pasukan direkrut pada usia dua belas tahun).
Selanjutnya kekuasaan beralih kepada puteranya Murad I, yang telah berhasil menaklukan, Adrianopol, Masedonia, Bulgaria, Serbia, Kosovo dan Asia kecil. Murad I bergelar Alexander abad pertengahan. Murad digantikan oleh puteranya Bayazid I, yang bergelar Ildrim (kilat), terjadi pertempuran dengan tentara Mongol yang dipimpin oleh Timur Lenk, sehingga Bayazid I bersama puteranya Musa tertawan dan wafat dalam tawanan tahun 1403 M. Pada masa ini Turki Usmani mulai mengalami kemunduran. Kemudian dilanjutkan oleh Muhammad, ia berhasil memulihkan kondisi menjadi stabil sehingga para sejarawan mensejajarkan dia dengan Umar II dari Dinasti Umayyah.
Setelah ia meninggal digantikan oleh Murad II (1421-1451 M),, ia mengembalikan cintra Murad I, yaitu dengan merebut kembali daerah-daerah Eropa (Kosovo). Ia banyak mendirikan Masjid dan Sekolah. Penggatinya adalah Muhammad II (1451-1484M), dengan gelar Al-Fatih, ia telah berhasila menaklukkan kota Konstantinopel pada 25 Mei 1453. Dan juga ia menaklukkan Venish, Italy, Rhodos, dan Cremia yang terkenal denan Konstantinopel II. ia menerapkan UU islam dalam qanun namah. Setelaha abad ke-16 M atauran ini dilonggarkan. Al-fatih meninggal, digantikan anaknya Bayazid II, kemudian digantikan oleh anaknya Salim I, ia sangat kejam, dalam sejarah Eropa dikenal sebagai Salim the Grim. Ia menaklukkan Asia Kecil, Persia, Kaldiran, dan Mesir. Dan juga berhasil menaklukkan Sultan Mamluk (1517 M). ia memindahkan Khalifah boneka Bani Abbas ke Konstantinopel yang bernama Ahmad dan mengambil gelar secara sakral yang kemudian digunakan oleh sultan Turki, Salim I, sehingga kota tersebut berubah menjadi Istambul.
Selanjutnya digantikan oleh Sulaiman Agung (1520-1566), mendapat julukan Sulaiman al-Qanuni, pada masanya disusun sebuah kitab undang-undang (qanun), Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur dan berhasil membawa kejayaan islam, dan ia pula berhasil menterjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Turki. Sulaiman jug berhasil menundukkan Irak, Belgrado, Pulau Rodhes, Tunis, Budapest, dan Yaman. Dengan demikian, luas wilayah Turki Usmani pada masanya mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Siria, Hejaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika; Bulgaria,Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa.
Sulaiman al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M), Di masa pemerintahannya terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh.
Selanjunya digantikan oleh Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, namun Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabnz, ibu kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia, dan mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1593 M. Namun kehidupan moral Sultan yangjelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri.
Kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1603M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani.
Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar.
Sesudah Sultan Ahmad I ( 1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan kedua, (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.
Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623 – 1640 M). Pertama-tama ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan. Pasukan Jenissari’ yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan. Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim I (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) ke kedudukan sebagai wazir atau shadr al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim.
Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu, ia menyerbu Hongaria dan mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699M terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg; dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia.
Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan Usmani di sepanjang pantai Asia Kecil. Akan tetapi, tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuatannya.
Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd al-Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain:
1. Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan LautPutih, dan
2. Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman al-Qanuni. Satu persatu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.
Di Mesir, kelemahan-kelemanan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnyaNapoleon Bonaparte dari Perancis tahun 1798 M.
Di Libanon dan Syria, Fakhral-Din, seorang pemimpin Dntze, berhasil menguasai Palestina, dan pada tahun 1610 M merampas Ba’albak dan mengancam Damaskus. Fakhr al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyah dengan penguasa lokal Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di jazirah Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M.
Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika sedang mengalami kemunduran. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut hingga abad ke-19 dan ke-20 M.
• Osman I (1281-1326; bey)
• Orhan I (1326-1359; bey)
• Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
• Beyazid I (1389-1402)
• Interregnum (1402-1413)
• Mehmed I (1413-1421)
• Murad II (1421-1444) (1445-1451)
• Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
• Beyazid II (1481-1512)
• Selim I (1512-1520)
• Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
• Selim II (1566-1574)
• Murad III (1574-1595)
• Mehmed III (1595-1603)
• Ahmed I (1603-1617)
• Mustafa I (1617-1618)
• Osman II (1618-1622)
• Mustafa I (1622-1623)
• Murad IV (1623-1640)
• Ibrahim I (1640-1648)
• Mehmed IV (1648-1687)
• Suleiman II (1687-1691)
• Ahmed II (1691-1695)
• Mustafa II (1695-1703)
• Ahmed III (1703-1730)
• Mahmud I (1730-1754)
• Osman III (1754-1757)
• Mustafa III (1757-1774)
• Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
• Selim III (1789-1807)
• Mustafa IV (1807-1808)
• Mahmud II (1808-1839)
• Abd-ul-Mejid I (1839-1861)
• Abd-ul-Aziz (1861-1876)
• Murad V (1876)
• Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
• Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
• Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
• Abd-ul-Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)
C. Kemajuan / Kejayaan Masa Turki Usmani
Selama kejayaan dinasti ini ada beberapa yang telah berhasil namun diperiode selanjutnya daerah-daerah yang telah dikuasi kembali direbut oleh pihak yang ingin menguasai Turki Usmani, adapun keberhasilan pada masa Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab undang-undang (qanun). Kitab tersebut diberi nama Multaqa al-Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman I yang amat berharga ini, di ujung namanya ditambah gelar al-Qanuni.
Pada masa Sulaiman kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun nmesjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, villa, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.
Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliteran, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol.
Bangsa Turki juga banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan mesjid yang indah, seperti Masjid Al-Muhammadi atau Mesjid Jami’ Sultan Muhammad Al-fatih, Mesjid Agung Sulaiman dan Mesjid Abi Ayyub al-Anshari.Mesjid-mesjidtersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu mesjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah mesjid yang asalnya gereja Aya Sopia. Hiasan kaligrafi itu, dijadikan penutup gambar-gambar Kristiani yang ada sebelumnya.
Pada masa Turki Usmani tarekat mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah tarekat Bektasyi dan Tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Di pihak lain, kajian-kajian ilmu keagamaan, Asy’ariyah mendapatkan tempatnya. Selain itu para ulama banyak menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan) dan hasyiyah (semacam catatan) terhadap karya¬karya masa klasik.
D. Faktor Runtuhnya Turki Usmani
Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur:
1. Intern
• Buruknya pemahaman Islam
Lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTEK dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.
• Salah menerapkan Islam.
Dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni
Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst).
2. Eksten
• Penjajahan Barat membawa semangat gold, glory, dan gospel
Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887). - See more at: http://feryntina.blogspot.com/2013/04/sejarah-peradaban-islam-turki-usmani.html#sthash.YFnNRpef.dpuf
Asal Usul Kerajaan Mughal
Mughal
merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibukotanya,
berdiri antara tahun (1526-1858 M). Dinasti Mughal di India didirikan oleh
Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah satu cucu dari Timur Lenk dari
etnis Mongol, keturunan Jengis Khan. Ekspansinya ke India dimulai dengan
penundukan penguasa setempat yaitu Ibrahim Lodi dengan Alam Khan (Paman Lodi)
dan gubernur Lohere[1]. Ia berhasil munguasai Punjab dan
berhasil menundukkan Delhi, sejak saat itu ia memproklamirkan berdirinya
kerajaan Mughal. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan
dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat
Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang baru itu, sehingga ia harus
berhadapan langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi
Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur memperoleh
kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Penguasa
Mughal setelah Babur
adalah Nashiruddin
Humayun atau lebih dikenal dengan Humayun (1530-1540 dan 1555-1556 M)[2], puteranya sendiri. Sepanjang
pemerintahanya tidak stabil, karna banyak terjadi perlawanan dari
musuh-musuhnya. Bahkan beliau sempat mengungsi ke Persia karna mengalami
kekalahan saat melawan pemberontakan Sher Khan di Qonuj, tetapi beliau berhasil
merebut kembali kekuasaanya pada tahun 1555 M berkat bantuan dari kerajaan
safawi. Namun setahun kemudian 1556 M beliau meninggal karna tertimpa tangga
pepustakaan, dan tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh putranya yang bernama
Akbar.
2.2
PERKEMBANGAN DAN KEJAYAAN KERAJAAN
MUGHAL
Masa
kejayaan kerajaan Mughal dimulai pada pemerintahan Akbar (1556-1506 M), dan
tiga raja penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M),
Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuaan kerajaan Mughal tidak dapat
dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar
mengganti ayahnya pada saat usia 14 tahun, sehingga urusan kerajaan diserahkan
kepada Bairam Khahan, seorang syi’i. Pada masa pemerintahanya, Akbar
melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher
Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang
menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan
sehingga terjadi peperangan dasyat, yang disebut panipat 2 tahun 1556 M. Himu
dapat dikalahkan dan ditangkap kemudian diekskusi. Dengan demikian, Agra dan
Kwalior dapat dikuasai penuh (Mahmudun Nasir,1981:265-266).
Setelah
Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai
pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran syi’ah. Bairam Khan
memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah
itu masa kejayaan kerajaan Mughal berhasil dipertahankan oleh putra beliau
yaitu Jehangir yang memerintah selama 23 tahun (1605-1628 M). Namun Jehangir
adalah penganut Ahlussunah Wal Jamaah, sehingga Din-i-Illahi yang dibentuk
ayahnya menjadi hilang pengaruhnya.[3]
Sepeninggalan
Jehangir pucuk kekuasaan kerajaan Mughal di pegang oleh Sheh Jehan yang
memerintah Mughal selam 30 tahun (1628-1658 M). Pada masa pemerintahanya banyak
muncul pemberontakan dan perselisihan dalam internal keluarga istana. Namun
semua itu dapat diatasi oleh beliau, bahkan beliau berhasil memperluas
kekuasaanya Hyderabat, Maratha, dan Kerajaan Hindu lain yang belum tunduk
kepada pemerintahan Mughal. Keberhasilan itu tidak bias lepas dari peran
Aurangzeb, putera ketiga dari Sheh Jehan.
Pengganti
Sheh Jehan yaitu Aurangzeb, beliau berhasil menduduki tahta kerajaan setelah
berhasil menyingkirkan para pesaingnya (saudaranya). Pada masanya kebesaran
Mughal mulai menggema kembali, dan kebesaran namanya-pun disejajarkan dengan
pendahulunya dulu, yaitu Akbar.
Adapun
usaha-usaha Aurangzeb dalam memajukan kerajaan Mughal diantaranya menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas
korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku di India yang
dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707 M.
Selama satu setengah abad, India di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu
negara adikuasa. Ia menguasai perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran
barang-barangnya yang mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina.
Selain itu, India juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar
ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.[4]
Dengan besarnya nama kerajaan
Mughal, banyak sekali para sejarawan yang mengkaji tentang kerajaan ini. Dan
pada masa itu telah muncul seorang sejarawan yang bernama Abu Fadl dengan
karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal
berdasarkan figure pemimpinnya. Sedangkan karya seni yang dapat dinikmati
sampai sekarang dan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah
karya-karya arsitektur yang indah dan masjid-masjid yang indah. Pada masa Shah
jehan dibangun Masjid Berlapis mutiara dan Taj Mahal di Agra, Masjid Raya Delhi
dan Istana Indah di Lahore (Ikram, 1967:247).
2.3
KEMUNDURAN DAN RUNTUHNYA KERAJAAN MUGHAL
Setelah
satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut
Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh
sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa
kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat
pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh di
belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam.
Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh
Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata
semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa
Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul,
tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan
Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah
ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang
ditinggalkannya.
Sepeninggal
Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb
yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.[5] Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar
Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan
pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya. Ia juga dihadapkan
pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran
Syi’ah kepada mereka.[6]
Setelah
Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan
kekuasaan di kalangan istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus Syah.
Akan tetapi, pemerintahannya oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, wazir
Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M an diganti oleh putranya,
Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri.
Jihandar Syah apat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh
Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi tewas
di tangan para pendukungnya sendiri (1719 M). Sebagai gantinya diangkat
Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan pendukungnya terusir oleh suku
Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan
kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan
Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan
bantual kepada pemberontak Afghan di daerah Persia. Oleh karena itu, ada tahun
1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan Mughal.
Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah.
Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia member hadiah yang
sangat banyak keada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat melakukan restorasi
kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang Chin Qilich Khan yang bergelar
Nizam Al-Mulk (1722-732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi,
tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabat dan menetap di
sana.
Konflik-konflik
yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah.
Pemerintahan daerah satu per satu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah
pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.
Hiderabat dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput
menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber,
Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh.
Adapun sebab-sebab keruntuhan Mughal
secara detail, yaitu :
1. Terjadinya stagnasi pembinaan
militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah pantai tidak dapat
dipantau.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di
kalangan elite politik yang mengakibatkan pemborosan dan penggunaan uang
Negara.
3. Pendekatan Aurengzeb yang terkesan
kasar dalam mendakwahkan agama.
4. Pewaris tahta pada paroh terakhir adalah pribadi-pribadi
lemah.
2.4
HASIL-HASIL KEBUDAYAAN KERAJAAN MUGHAL
A. Bidang Poitik dan Militer
Sistim yang menonjol adalah politik
Sulh-E-Kul atau toleransi universal. Sistem ini sangat tepat karena mayoritas
masyarakat India adalah Hindu sedangkan Mughal adalah Islam. Disisi lain
terdapat juga ras atau etnis lain yang juga terdapat di India. Lembaga yang
produk dari Sistim ini adalah Din-I-Ilahi dan Mansabhadari. Dibidang militer,
pasukan Mughal dikenal pasukan yang sangat kuat. Mereka terdiri dari pasukan
gajah berkuda dan meriam. Wilayahnya dibagi distrik-distrik. Setiap
distrik dikepalai oleh sipah salar dan sub distrik di kepalai oleh faudjar.
Dengan sistim ini pasukan Mughal berhasil menahlukan daerah-daera di
sekitarnya.
B. Bidang Ekonomi
Perekonomian
kerajaan Mughal tertumpu pada bidang agrari, mengingat keadaan Geografi dan
Geologi wilayah India. Hasil pertanian kerajaan Mughal yang terpenting ketika
itu adalah biji-bijian, padi, kacang, tebu, sayur-sayuran, rempah-rempah,
tembakau, kapas, nila, dan bahan-bahan celupan.[7]
Di samping untuk kebutuhan dalam
negeri, hasil pertanian itu diekspor ke Eropa, Afrika, Arabia, dan Asia
Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis
bahan gordiyn yang banyak diproduksi di Gujarat dan Bengawan. Untuk
meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617
M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat.
C. Bidang Seni dan Arsitektur
Bersamaan
dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya
seni yang menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik yang
berbahasa Persia maupun berbahasa India. Penyair India yang terkenal adalah
Malik Muhammad Jayazi, seorang sastrawan sufi yang menghasilkan karya besar
berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebijakan
jiwa manusia.[8]
Karya seni yang masih dapat
dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan
Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa
akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, vila, dan masjid-masjid yang
indah. Pada masa Syah Jehan, dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal
di Agra, masjid raya Delhi dan istana indah di Lahore.[9]
D. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dinasti
Mughal juga banyak memberikan sumbangan di bidang ilmu pengetahuan. Sejak
berdiri, banyak ilmuan yang datang ke India untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Bahkan Istana Mughal-pun menjadi pusat kegiatan kebudayaan. Hal ini adanya
dukungang dari penguasa dan bangsawan seta Ulama. Aurangzeb misalnya membelikan
sejumlah uang yang besar dan tanah untuk membangun sarana pendidikan.
Pada tiap-tiap masjid memiliki
lembaga tingkat dasar yang dikelola oleh seorang guru. Pada masa Shah Jahan
didirikan sebuah Perguruan Tinggi di Delhi. Jumlah ini semakin bertambah ketika
pemerintah di pegang oleh Aurangzeb. Dibidang ilmu agama berhasil
dikondifikasikan hukum islam yang dikenal dengan sebutan Fatawa-I-Alamgiri.
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan-penjelasan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa.
Ø Islam telah mewariskan dan memberi
pengayaan terhadap khazanah kebudayaan India. Dimana keberadaan kerajaan ini
telah menjadi motivasi kebangkitan baru bagi peradaban tua di anak benua India
yang hampir tenggelam
Ø Dengan hadirnya Kerajaan Mughal,
maka kejayaan India dengan peradaban Hindunya yang nyaris tenggelam, kembali
muncul.
Ø Kemajuan yang dicapai Kerajaan
Mughal telah memberi inspirasi bagi perkembangan peradaban dunia baik politik,
ekonomi, budaya dan sebagainya. Misalnya, politik toleransi (sulakhul), system
pengelolaan pajak, seni arsitektur dan sebagainya.
Ø Kemunduran suatu peradaban tidak lepas dari lemahnya kontrol
dari elit penguasa, dukungan rakyat dan kuatnya sistem keamanan.
Kerajaan
Safawi di Persia
A.
Perkembangan Kerajaan Safawi di Persia
Pada waktu
kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di
Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang
dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah
menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan
Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan
kerajaan Turki Usmani (Yatim, 1998:138).
Kerajaan
Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti
kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut
Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi
dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya negara Iran dewasa ini .
Kerajaan
Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di daerah Ardabil kota
Azerbaijan (Holt dkk, 1970:394). Tarekat ini bernama Safawiyah sesuai dengan
nama pendirinya Safi Al-Din, salah satu keturunan Imam Syi'ah yang keenam “Musa
al-Kazim”. Pada awalnya tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar
dan pada akhirnya memerangi orang-orang ahli bid'ah (Hamka, 1981:79). Tarekat
ini menjadi semakin penting setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari
pengajian tasawuf murni yang bersifat local menjadi gerakan keagamaan yang
besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia.Dalam perkembangannya Bangsa
Safawi (tarekat Safawiyah) sangat fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal ini
ditandai dengan kuatnya keinginan mereka untuk berkuasa karena dengan berkuasa
mereka dapat menjalankan ajaran agama yang telah mereka yakini (ajaran Syi'ah).
Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah menjadi tentara yang
teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab
selain Syiah.
Bermula dari
prajurit akhirnya mereka memasuki Dunia perpolitikan pada masa kepemimpinan
Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menumbuhkan
kegiatan politik di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
menimbulkan konflik dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku
bangsa Turki, yang akhirnya menyebabkan kelompok Juneid kalah dan diasingkan
kesuatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar
Bakr, AKKoyunlu, juga suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang
ketika itu menguasai sebagian besar Persia (Holt, 1970:396).
Tahun 1459
M, Juneid mencoba merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba
merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan
dan ia terbunuh dalam pertempuran tersebut (Brockelman, 1974:494). Penggantinya
diserahkan kepada anaknya Haidar secara resmi pada tahun 1470 M, lalu Haidar
kawin dengan seorang cucu Uzun Hasan dan lahirlah Isma'il yang kemudian hari
menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia dan mengatakan bahwa Syi'ahlah yang
resmi dijadikan mazdhab kerajaan ini. Kerajaan inilah yang dianggap sebagai
peletak batu pertama negara Iran (Yatim, 2003:139-140).
Gerakan
Militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar di pandang sebagai rival politik oleh
AK Koyunlu setelah ia menang dari Kara Koyunlu (1476 M). Karena itu, ketika
Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan
bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan ia terbunuh
(Holt, 1970:396). Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak bala tentaranya
untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan
tetapi Ya'kub pemimpin AK Koyunlu menangkap dan memenjarakan Ali bersama
saudaranya, Ibrahim, Ismail dan ibunya di Fars (1489-1493 M). Mereka dibebaskan
oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi
saudara sepupunya. Setelah dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil.
Namun, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali
bersaudara dan Ali terbunuh (1494 M) (Holt, 1970:397).
Periode
selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan pada Ismail. Selama 5
tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan untuk menyiapkan pasukan
dan kekuatan. Pasukan yang di persiapkan itu diberi nama Qizilbash (baret
merah). Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah pimpinan Ismail
menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan.
Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota
AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail
memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga
Ismail I (Brockelmann, 1974:398). Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun antara
1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di
Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd
(1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508
M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah
kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile
Crescent) .
Bahkan
tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus
mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani.
Ismail berusaha merebut dan mengadakan ekspansi ke wilayah kerajaan Usmani
(1514 M), tetapi dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan malah Turki
Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi
terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan
di kalangan militer Turki di negerinya (Hassan, 1989:337).
Kekalahan
tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya dia
berubah, dia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu.
Keadaan itu berdampak negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya terjadi
persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan Safawi antara
pimpinan sukusuku Turki, pejabat keturunan Persia dan Qizibash (Yatim,
2003:142).
Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri.
Berikut
urutan penguasa kerajaan Safawi :
1. Isma'il
I (1501-1524 M)
2. Tahmasp
I (1524-1576 M)
3. Isma'il
II (1576-1577 M)
4.
Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5. Abbas I
(1587-1628 M)
6. Safi
Mirza (1628-1642 M)
7. Abbas
II (1642-1667 M)
8.
Sulaiman (1667-1694 M)
9. Husein
I (1694-1722 M)
10.
Tahmasp II (1722-1732 M)
11. Abbas
III (1732-1736 M)
B. Masa
Kejayaan Kerajaan Safawi
Kondisi kerajaan
Safawi yang memprihatinkan itu baru bisa diatasi setelah raja Safawi kelima,
Abbas I naik tahta (1588-1628 M). Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I
dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1.
Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan
baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia
dan Sircassia.
2.
Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan
wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan
menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam
khutbahkhutbah Jum'at. Sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan
saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul (Borckelmann,
1974:503).
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan usmani.
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan usmani.
Kemajuan
yang di capai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik, melainkan
bidang lainnya juga mangalami kemajuan. Kemajuan-kemajaun itu antara lain :
1. Bidang
Ekonomi
Kemajuan
ekonomi pada masa itu bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan
pelabuhan Gumrun yang diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Safawiyah
menguasai jalur perdagangan antara Barat dan Timur. Di samping sector perdagangan,
Safawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil
pertanian dari daerah Bulan Sabit yang sangat subur (Fertille Crescent).
2. Bidang Ilmu Pengatahuan
2. Bidang Ilmu Pengatahuan
Sepanjang
sejarah Islam Persia di kenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan
berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang
selalu hadir di majlis istana yaitu Baha al-Dina al-Syaerazi, generalis ilmu
pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn
Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah pernah
mengadakan observasi tentang kehidupan lebah (Brockelmann, 1974:503-504).
3. Bidang
Pembangunan Fisik dan Seni
Kemajuan
bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang
memperindah Isfahan sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah,
rumah sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun.
Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika
Abbas I wafat, di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1802
penginapan dan 273 pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk
kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni lainnya.
C.
Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal
Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi
Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein
(1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa
raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan
berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab
kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap
pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang
akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuankemajuan yang telah diperoleh dalam
pemerintahan sebelumnya (Abbas I).
Kota
Qandahar lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal
yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut
oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras
sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang
pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya
rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein
yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi'ah yang sering
memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan
kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehinggamereka berontak dan berhasil
mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi (Hamka, 1981:71).Pemberontakan bangsa
Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays
yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart,
suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir
Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga
ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan
ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan
mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak
Husein). Dengan pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun
1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan
memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah
Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh
kemenangan (Holt, 1970:426).
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429).
Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429).
Adapun
sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah:
1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
1. Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
2.
Terjadinya dekandensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan Safawi,
yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja Sulaiman yang
pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah
sekalipun ssmenyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan sultan
Husein.
3. Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash . Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
3. Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash . Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
4. Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana.
0 comments:
Post a Comment